Hai, Good People

Narablog caksaidi merupakan sebuah blog yang membahas seputar Pendidikan, Budaya, Hukum, Filsafat, dan Politik. Anda bisa memilih apa yang ingin dicari di sini.

Find Out More Purchase Theme

Tentang Caksaidi

Disukai

Hal yang paling disukai oleh caksaidi adalah ngopi sambil ngobrol santai, berliterasi, dan bermain musik.

Read More

Konsep

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Pengembang

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

User Friendly

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Recent Work

KOTA KECIL MENYIMPAN SEJARAH

KOTA KECIL MENYIMPAN SEJARAH

Oleh: Mohammad Ridwan Saidi
Diambil dari Google image

       Bondowoso adalah salah satu daerah yang berada di sebelah timur pulau Jawa. Daerah yang memiliki pemerintahan kabupaten ini, diapit oleh kabupaten Jember dan kabupaten Situbondo. Bondowoso yang mungkin hampir terlupakan ini juga dikenal dengan wilayah Tapal Kuda, yang sekarang menjadi nama kawasan di Provinsi Jawa Timur. Dinamakan tapal Kuda Karena bentuk kawasan tersebut di dalam peta mirip dengan bentuk Tapal Kuda. Adapun kawasan Tapal Kuda tersebut meliputi Lumajang, Probolinggo, Bondowoso, Jember, Situbondo, Pasuruan (bagian timur), dan Banyuwangi.
       Daerah yang dikepalai oleh bupati Drs. H. Amin Said Husni ini menyimpan banyak peristiwa sejarah, salah satunya adalah peristiwa “Gerbong Maut”. Peristiwa Gerbong Maut terjadi pada saat kolonial Belanda masih berada di Indonesia –sekitar 70 tahun silam– tepatnya pada tanggal 23 November 1947. Kala itu, meski Indonesia sudah merdeka, Belanda tetap tak mau hengkang dari Nusantara.
       Sebelum peristiwa itu terjadi, Belanda melakukan penangkapan besar-besaran terhadap Tentara Republik Indonesia (TRI), laskar, gerakan, bawah tanah, dan orang-orang tanpa menghiraukan mereka berperan atau tidak dalam perjuangan. Hal ini mengakibatkan Penjara Bondowoso penuh sesak dan tak mampu lagi menampung para tahanan. Belanda pun memindahkan sekitar 100 orang tahanan yang dianggapnya memiliki pelanggaran berat, dari Penjara Bondowoso ke Penjara Surabaya.
       Pemindahan tahanan dilakukan dengan menggunakan kereta api. Setiap 1 gerbong diisi sekitar 30 orang. Gerbong pertama yaitu GR5769 dan Gerbong kedua GR4416 masih memiliki lubang ventilasi udara meskipun sangat kecil, namun gerbong ketiga yaitu GR10152 –meskipun baru dibuat– tidak memiliki fentilasi sama sekali. Gerbong-gerbong tersebut terbuat dari kayu dan baja. Belanda sangat menutup rapat gerbong-gerbong kereta. Hal itu dikarenakan sedang marak geriliyawan RI, apabila ada orang-orang yang ketahuan membawa para pejuang RI yang sedang melakukan revolusi, pasti langsung dihabisi.
       Selama perjalanan dari Bondowoso ke Surabaya yang memakan waktu 16 jam, ketiga gerbong kereta hanya dibuka sesekali, itupun hanya sebentar. Para tahanan juga tidak diberi makan dan minum selama perjalanan. Para pejuang yang ditahan terus berusaha meminta makanan dan minuman kepada kolonial Belanda dengan menggedor-gedor dinding gerbong, namun kolonial Belanda tetap tidak memenuhi permintaan tersebut, karena yang tersedia hanya peluru dan tidak akan ada yang diberikan sampai kereta api mencapai Surabaya.[1]
        Oleh karenanya, mengakibatkan para tahanan sesampai di Surabaya hanya 12 orang yang tidak terluka akibat kekurangan oksigen dan terkena panas, namun kondisinya sangat lemas dan lunglai. Semua orang di gerbong pertama masih hidup meskipun ada yang sakit parah. Di gerbong kedua ada 8 orang tewas. Dan di gerbong terakhir tidak ada satupun yang bertahan. Total yang meninggal sebanyak 46 pejuang.[2]
        Para tahanan yang selamat pun disuruh paksa mengangkut mereka yang meninggal. Mereka harus berhati-hati karena bisa saja kulit tahanan terkelupas akibat kepanasan dan terpanggang dalam gerbong tersebut. Semenjak itu Bondowoso dikenal dengan kisah Gebong Maut, tujuannya untuk mengingatkan kekejaman Belanda pada Indonesia, serta menyadarkan kepada seluruh pemuda Indonesia untuk selalu menghargai dan mengenang jasa para pahlawan kita.
      Kereta api Gerbong Maut pun disimpan di Museum Brawijaya yang berada di Jalan Ijen No.25 Malang, Jawa Timur. Sedangkan di pusat kabupaten Bondowoso dibuat replika sebuah monument, yang diberi nama Monumen Gerbong Maut.

[1] Pariwisata Bondowoso, Monumen Gerbong maut, eastava.com.
[2] Graham, Duncan. 2013, 23 November. “Gerbong Maut: The Bondowoso death train

KEARIFAN LOKAL BONDOWOSO

KEARIFAN LOKAL BONDOWOSO

Oleh: Mohammad Ridwan Saidi

I.          Kearifan Lokal
                 Kearifan lokal jika diterjemahkan secara sederhana memiliki dua kata, yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal (local wisdom) adalah ide dan gagasan atau pengetahuan yang lahir dari masyarakat setempat, diyakini dan dipercayai untuk menjalankan kehidupan di lingkungan sekitar (Wilnas, 2017). Menurut antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (pertokoan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.
                  Adapun menurut Sartini (2004), kearifan lokal adalah gagasan-gagasan lokal bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal juga merupakan usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Dari berbagai pendapat diatas , kearifan lokal dapat dikatakan sebagai pengetahuan lokal yang sudah menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Suatu filosofi dan pandangan yang terwujud dalam berbagai bidang kehidupan (tata nilai sosial, ekonomi, arsitektur, kesehatan, lingkungan, dll).
                    Koentjoroningrat (1990) menyatakan bahwa kearifan lokal dapat terwujud seperti: a) Gagasan, ide, nilai, norma, peraturan; b) Pola perilaku, kompleks aktifitas; c) Artefak (benda-benda), kebudayaan, dan benda hasil budaya. Kearifan lokal juga dibagi menjadi 2, yaitu dapat terwujud (tangible) dan tidak terwujud (intangible). Tangible dijabarkan menjadi 3. pertama, berupa tekstual (sistem nilai, tata cara, ketentuan, khusus dalam bentuk catatan tertulis seperti dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi atau tulisan diatas daun lontar). Kedua, bangunan/arsitektur. Ketiga, yaitu benda cagar budaya/tradisional/karya seni. Sedangkan intangible yaitu seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional.

II.       Kearifan Lokal Bondowoso
        Kearifan lokal dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia. Hal ini perlu dijaga guna memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah, menjaga keutuhan masyarakat, dan menjaga kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa. Bondowoso merupakan salah satu daerah yang dimiliki oleh negara Indonesia, daerah swatantra tingkat II yang dikepalai oleh bupati dan berada di wilayah Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Bondowoso dikenal dengan sebutan daerah tapal kuda di Jawa Timur. Kabupaten Bondowoso memiliki beberapa kearifan lokal yang saat ini masih dijaga dan dilestarikan, seperti kesenian tarian Singo Ulung, Gedhisa, Marepeh, Ter-Ater, Nyare Dheddhinah, dan masih banyak kearifan lokal lainnya baik, baik secara tangible maupun intangible.


         Kesenian Tari Singo Ulung merupakan kesenian tradisional yang murni dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso, berasal dari desa Blimbing, Bondowoso. Dalam cerita rakyat yang saat ini masih mengalir dan diyakini oleh masyarakat di Bondowoso, tarian Singo Ulung memiliki sejarah yang berawal dari datangnya pemuda bernama Kiai Singo Wulu, pendakwah yang berusaha menyebarkan ajaran agama Islam. Dalam perjalanannya, Kiai Singo Wulu berhenti di sebuah hutan dan berteduh di bawah pohon blimbing. Kedatangan Kiai Singo Wulu ini ternyata membuat murka sang penguasa hutan yang bernama Jasiman, karena murkanya sang penguasa hutan, terjadilah perkelahian antara keduanya. Perkelahian keduanya itu menggunakan rotan yang berada di hutan sebagai senjata. Dengan kesaktian yang dimiliki Kiai Singo, akhirnya Kiai Singo Wulu berubah wujud menjadi “Sardula Seta” atau harimau putih. Sampai akhirnya, Jasiman tidak mampu melawan dan meminta pertarungan dihentikan. Setelah perkelahian selesai, percakapan dimulai dan keduanya menyadari bahwa mereka berasal dari perguruan yang sama, namun Kiai Singo lebih dulu memeluk agama Islam.
Singkat cerita, Jasiman mengenal Kiai Wulu lebih jauh, Ia merasa kagum dengan kehebatan serta sifat kesederhanaan yang dimiliki Kiai Wulu, akhirnya Jasiman sadar dan memeluk agama Islam. Dari kekaguman Jasiman, melihat penampilan Kiai Singo yang sangat sederhana namun tampak ulung, akhirnya Jasiman menikahkan adiknya bernama Muna dengan Kiai Singo Wulu dan bergantilah nama menjadi Muslinah.
Dari cerita yang beredar di masyarakat saat ini, tari tradisional Singo Ulung merupakan ide dari Jasiman untuk mengenang cerita yang pernah terjadi di waktu itu. Karena pada tahun 1806 terjadi imigrasi besar-besaran masyarakat dari Madura menuju wilayah tapal kuda, termasuk Bondowoso, terjadilah perubahan kesenian. Seperti penyebutan pada Kiai Singo –pendatang yang berasal dari Ponorogo– menjadi “Juk Senga” dalam bahasa Madura, serta musik pengiring yang menggunkan gamelan Reog menjadi aransemen Madura, serta pakaian Warok Ponorogo menjadi pakaian khas Madura.
Perkembangan seni berkembang bersama dengan seni pojian (pujian), seni ojung (ujung), dan selalu ditunjukan pada upacara adat “Bersih Desa Blimbing” yang selalu diadakan setiap tahun (bulan sya’ban atau ruwah). Di sisi lain, tarian ini dilakukan ketika ada peringatan hari-hari penting daerah hingga nasional, seperti Hari Jadi Bondowoso (HARJABO), Tahun Baru Islam, Hari Kemerdekaan RI, bahkan ditampilkan sebagai tarian sambutan sebagai pesan selamat datang ketika ada tamu penting seperti Menteri atau Presiden.
Dalam kesenian tari Singo Ulung, terdapat tokoh yang diperankan dan memiliki makna seperti: a) Singo Ulung menggambarkan wujud Kiai Singo Wulu menjadi harimau putih; b) Panji menggambarkan sosok Jasiman sang Penguasa hutan; c) Dua orang berkelahi menggunakan rotan menggambarkan pertarungan Jasiman dengan Kiai Songo; d) Penari perempuan menggambarkan isteri Kiai Singo; dan e) Kiai menggambarkan sosok Kiai Singo itu sendiri. Dari penjelasan tersebut, Tarian Singo Ulung ini termasuk dalam kearifan lokal tangible berupa karya seni tradisional yang saat ini masih dijaga eksistensinya.
Berbeda dengan Tarian Singo Ulung, kearifan lokal Gedhisah (Selametan Desa) sampai saat ini masih tetap dijaga dan dilestarikan. Gedhisah ini biasanya dilakukan untuk memperingati hari lahir suatu desa atau selamatan rutin yang memiliki tujuan untuk tolak bala. Upacara yang dilaksanakan juga bermacam-macam dan biasanya di setiap desa berbeda-beda. Kegiatan ini dapat berupa doa bersama, istighosah, memainkan kesenian musik padi (waronjengen), atau memainkan tarian Singo Wulung. Hal ini dilaksanakan karena menurut kepercayaan masyarakat di Bondowoso memiliki makna agar masyarakat yang tinggal di berbagai desa selalu mengingat akan keagungan Allah SWT yang telah menciptakan bumi dan seisinya, serta memohon agar dihindarkan dari musibah.
Adapun kearifan lokal yang lain yaitu Marepeh yang berarti ritual pengusiran roh jahat dari dalam tubuh manusia. Roh jahat ini biasanya sering menggangu anak kecil (kesambet) atau orang dewasa yang selalu memiliki pikiran kosong dan hati yang tidak selalu diimbangi dengan keimanan. Tubuh yang terganggu oleh roh jahat biasanya akan merasa sakit dan berperilaku tidak wajar. Mengusir roh jahat biasanya menggunakan media “Mbah Dukun” dengan segala jampi-jampinya untuk mengeluarkan roh jahat dari tubuh seseorang disertai pula dengan sarat tertentu.
Selanjutnya kearifan lokal yang masih terjaga adalah tradisi Ter-ater. Tradisi ini terjadi mulai dari zaman nenek moyang sampai sekarang hingga mendarah daging dalam struktur sosial masyarakat Bondowoso. Ter-ater sendiri memiliki istilah yaitu saling mengirimkan makanan kepada saudara atau kerabat dekat dengan maksud dan tujuan untuk saling berbagi rezeki serta karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Wadah yang digunakan untuk ter-ater biasanya menggunakan tenung atau tenong, isinya dapat berupa kuliner yang ingin diberikan kepada keluarga, saudara, atau kerabat dekat lainnya. Waktunya biasanya hari raya atau hari-hari besar lainnya.
Nyare dheddinah dalam bahasa Madura yang berarti mencari hari baik. Salah satu kebiasaan masyarakat Bondowoso sampai saat ini yaitu mencari hari baik untuk melaksanakan hajat seseorang. Kearifan lokal yang satu ini umumnya juga masih dilakukan oleh masyarakat di daerah-daerah yang berada di Jawa Timur, namun kebiasaan seperti ini masih sangat diyakini oleh masyarakat di desa-desa Bondowoso, bahkan di daerah pusat kabupaten Bondowoso sendiri. Sebagai contoh, nyare dheddinah biasanya dicari sebelum memulai suatu usaha, acara lamaran, hingga melaksanakan pernikahan. Hari baik ini dilihat dari kitab-kitab orang terdahulu sebagai pedomannya, seperti kitab naga tahun (naghe taon), adapula yang serat dengan kitab kalacakra, dan masih banyak kitab-kitab lainnya
.
III.    Bentuk Kearifan Lokal Bondowoso
Jika dilihat dari jenis kearifan lokal diatas, maka kearifan lokal yang berada di Bondowoso ini dapat digolongkan menjadi dua bentuk. Kearifan lokal seperti tari Singo Wulung dan Nyare Dheddinah merupakan kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible). Hal ini dikarenakan kedua kearifan lokal tersebut berupa karya seni tradisional dan berupa tekstual atau memiliki ketentuan khusus dalam bentuk catatan tertulis berupa kitab tradisional primbon, kalendar jawa, dsb. Sedangkan kearifan lokal Gedhisah, Marepeh, dan Ter-ater termasuk kearifan yang tidak terwujud (intangible) yang berarti kearifan lokal tersebut berasal dari petuah yang disampaikan secara verbal dan turun-temurun yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional.
Kebudayaan yang sangat luas dikerucutkan menjadi kearifan lokal, yakni nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu daerah masing-masing. Hal ini harus tetap terus dilestarikan karena kebudayaan merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Kearifan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso harus mampu mengembangkan Sumber Daya Manusia yang ada di Bondowoso – masyarakat yang berada di Daerah Bondowoso – agar dapat bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan menintegerasikan unsu budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, serta mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

IV.    Kearifan lokal dalam bingkai kebhinnekaan
Berbicara tentang kebudayaan pasti tidak akan terlepas dari ke-bhinneka-an. Bhinneka disini memiliki arti yaitu beraneka ragam atau berbeda-beda. Indonesia merupakan negara yang kaya akan perbedaan, disana kita mengetahui bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh setiap daerah adalah suatu kekayaan yang murni dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kebudayaan dapat dikatakan  sebagai “sekolah” dimana manusia dapat belajar menghargai hidup sebagai insani. Kebudayaan juga merupakan bagian dari naluri dasar manusia untuk menemukan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kebudayaan sebagai ketegangan antara imanensi dan trensendensi. Sebagai upaya penyempurnaan maka “kebudayaan”, dari konsep dan perkembangan harus selalu dievaluasi.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso memiliki manfaat untuk merajut ke-bhinneka-an di dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. Penulis mengambil dua contoh kearifan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso. Yang pertama adalah kearifan lokal Seni Tari Singo Ulung. Dalam permainan kesenian tari singo ulung terdapat beberapa pemain, mulai dari peran-peran penari sampai pemain musik yang mengiringi. Disana membutuhkan banyak personil dan tidak pandang bulu atau tidak memihak siapaun yang memerankan apapun, ditambah lagi setiap gerakan yang memiliki makna positif masing-masing. Jika dilihat dari komposisi Kesenian Tari Singo ulung ini, maka dapat disimpulkan bahwa kesenian Tari Singo Ulung ini mampu merajut kebhinnekaan.
Adapun kearifan lokal selanjutnya yang mampu merajut nilai kebhinnekaan disini adalah kearifan lokal ter-ater. Ketika dilihat dari filosofi ter-ater, bangsa Indonesia, terutama masyarakat Bondowoso akan semakin kuat dengan terjalinnya rasa silaturahmi yang terus dibangun. Dengan demikian kearifan lokal disini mampu untuk merajut nilai kebhinnekaan masyarakat di Indonesia. Tidak hanya berhenti disana, masih banyak kearifan lokal yang mampu untuk merajut kebhinnekaan, dan perlu adanya kajian secara terus menerus untuk memperluas wawasan masyarakat Bondowoso mengenai kearifan lokal yang dimiliki saat ini.




[1] Disampaikan saat membahas tentang Kearifan Lokal dan Strategi Kebudayaan Nasional yang dibina oleh Dr. Didik Sukriono, M.H
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana S2 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang TA. 2017/2018

Aktifitas

14 Kopi dalam Seminggu
Average weekly coffee drank
930109 Pengunjung
Average weekly visitors
726 Harapan Keberhasilan
Average yearly happy clients

Our Team

Tim Malkovic
CEO
David Bell
Creative Designer
Eve Stinger
Sales Manager
Will Peters
Developer

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

Joyo Suko 1, Lowokwaru, Kota Malang

Work Time:

Senin - Jum'at from 7am to 3pm

Phone:

6285 6559 553 66

Search This Blog