KEARIFAN LOKAL BONDOWOSO
Oleh: Mohammad Ridwan Saidi
I.
Kearifan
Lokal
Kearifan lokal jika diterjemahkan
secara sederhana memiliki dua kata, yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal (local wisdom) adalah ide dan gagasan atau pengetahuan yang lahir
dari masyarakat setempat, diyakini dan dipercayai untuk menjalankan kehidupan
di lingkungan sekitar (Wilnas, 2017). Menurut antariksa (2009), kearifan lokal
merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul
menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur)
dan kawasan (pertokoan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.
Adapun menurut Sartini (2004),
kearifan lokal adalah gagasan-gagasan lokal bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal
juga merupakan usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Dari berbagai pendapat diatas , kearifan
lokal dapat dikatakan sebagai pengetahuan lokal yang sudah menyatu dengan sistem
kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang
dianut dalam jangka waktu yang lama. Suatu filosofi dan pandangan yang terwujud
dalam berbagai bidang kehidupan (tata nilai sosial, ekonomi, arsitektur,
kesehatan, lingkungan, dll).
Koentjoroningrat (1990) menyatakan
bahwa kearifan lokal dapat terwujud seperti: a) Gagasan, ide, nilai, norma,
peraturan; b) Pola perilaku, kompleks aktifitas; c) Artefak (benda-benda),
kebudayaan, dan benda hasil budaya. Kearifan lokal juga dibagi menjadi 2, yaitu
dapat terwujud (tangible) dan tidak
terwujud (intangible). Tangible dijabarkan menjadi 3. pertama, berupa tekstual (sistem nilai,
tata cara, ketentuan, khusus dalam bentuk catatan tertulis seperti dalam kitab
tradisional primbon, kalender dan prasi atau tulisan diatas daun lontar). Kedua, bangunan/arsitektur. Ketiga, yaitu benda cagar
budaya/tradisional/karya seni. Sedangkan intangible
yaitu seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun dapat
berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional.
II. Kearifan Lokal Bondowoso
Kearifan lokal dimiliki oleh setiap
daerah di Indonesia. Hal ini perlu dijaga guna memberikan pedoman pada anggota
masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam
menghadapi masalah, menjaga keutuhan masyarakat, dan menjaga kekayaan budaya
yang dimiliki oleh bangsa. Bondowoso merupakan salah satu daerah yang dimiliki
oleh negara Indonesia, daerah swatantra tingkat II yang dikepalai oleh bupati
dan berada di wilayah Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Bondowoso dikenal dengan
sebutan daerah tapal kuda di Jawa Timur. Kabupaten Bondowoso memiliki beberapa
kearifan lokal yang saat ini masih dijaga dan dilestarikan, seperti kesenian
tarian Singo Ulung, Gedhisa, Marepeh, Ter-Ater, Nyare Dheddhinah,
dan masih banyak kearifan lokal lainnya baik, baik secara tangible maupun intangible.

Kesenian Tari Singo Ulung merupakan
kesenian tradisional yang murni dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso, berasal dari
desa Blimbing, Bondowoso. Dalam cerita rakyat yang saat ini masih mengalir dan
diyakini oleh masyarakat di Bondowoso, tarian Singo Ulung memiliki sejarah yang
berawal dari datangnya pemuda bernama Kiai Singo Wulu, pendakwah yang berusaha
menyebarkan ajaran agama Islam. Dalam perjalanannya, Kiai Singo Wulu berhenti
di sebuah hutan dan berteduh di bawah pohon blimbing. Kedatangan Kiai Singo
Wulu ini ternyata membuat murka sang penguasa hutan yang bernama Jasiman,
karena murkanya sang penguasa hutan, terjadilah perkelahian antara keduanya.
Perkelahian keduanya itu menggunakan rotan yang berada di hutan sebagai senjata.
Dengan kesaktian yang dimiliki Kiai Singo, akhirnya Kiai Singo Wulu berubah
wujud menjadi “Sardula Seta” atau harimau
putih. Sampai akhirnya, Jasiman tidak mampu melawan dan meminta pertarungan
dihentikan. Setelah perkelahian selesai, percakapan dimulai dan keduanya
menyadari bahwa mereka berasal dari perguruan yang sama, namun Kiai Singo lebih
dulu memeluk agama Islam.
Singkat cerita, Jasiman mengenal Kiai Wulu lebih jauh, Ia merasa kagum
dengan kehebatan serta sifat kesederhanaan yang dimiliki Kiai Wulu, akhirnya
Jasiman sadar dan memeluk agama Islam. Dari kekaguman Jasiman, melihat
penampilan Kiai Singo yang sangat sederhana namun tampak ulung, akhirnya Jasiman
menikahkan adiknya bernama Muna dengan Kiai Singo Wulu dan bergantilah nama
menjadi Muslinah.
Dari cerita yang beredar di masyarakat saat ini, tari tradisional Singo
Ulung merupakan ide dari Jasiman untuk mengenang cerita yang pernah terjadi di
waktu itu. Karena pada tahun 1806 terjadi imigrasi besar-besaran masyarakat dari
Madura menuju wilayah tapal kuda, termasuk Bondowoso, terjadilah perubahan
kesenian. Seperti penyebutan pada Kiai Singo –pendatang yang berasal dari
Ponorogo– menjadi “Juk Senga” dalam
bahasa Madura, serta musik pengiring yang menggunkan gamelan Reog menjadi aransemen Madura, serta
pakaian Warok Ponorogo menjadi pakaian khas Madura.
Perkembangan seni berkembang bersama dengan seni pojian (pujian), seni ojung (ujung),
dan selalu ditunjukan pada upacara adat “Bersih Desa Blimbing” yang selalu
diadakan setiap tahun (bulan sya’ban atau ruwah). Di sisi lain, tarian ini
dilakukan ketika ada peringatan hari-hari penting daerah hingga nasional,
seperti Hari Jadi Bondowoso (HARJABO), Tahun Baru Islam, Hari Kemerdekaan RI,
bahkan ditampilkan sebagai tarian sambutan sebagai pesan selamat datang ketika
ada tamu penting seperti Menteri atau Presiden.
Dalam kesenian tari Singo Ulung, terdapat tokoh yang diperankan dan
memiliki makna seperti: a) Singo Ulung menggambarkan wujud Kiai Singo Wulu
menjadi harimau putih; b) Panji menggambarkan sosok Jasiman sang Penguasa
hutan; c) Dua orang berkelahi menggunakan rotan menggambarkan pertarungan
Jasiman dengan Kiai Songo; d) Penari perempuan menggambarkan isteri Kiai Singo;
dan e) Kiai menggambarkan sosok Kiai Singo itu sendiri. Dari penjelasan
tersebut, Tarian Singo Ulung ini termasuk dalam kearifan lokal tangible berupa karya seni tradisional
yang saat ini masih dijaga eksistensinya.
Berbeda dengan Tarian Singo Ulung, kearifan lokal Gedhisah (Selametan Desa) sampai saat ini masih tetap dijaga dan
dilestarikan. Gedhisah ini biasanya
dilakukan untuk memperingati hari lahir suatu desa atau selamatan rutin yang
memiliki tujuan untuk tolak bala. Upacara yang dilaksanakan juga bermacam-macam
dan biasanya di setiap desa berbeda-beda. Kegiatan ini dapat berupa doa
bersama, istighosah, memainkan kesenian musik padi (waronjengen), atau memainkan tarian Singo Wulung. Hal ini
dilaksanakan karena menurut kepercayaan masyarakat di Bondowoso memiliki makna
agar masyarakat yang tinggal di berbagai desa selalu mengingat akan keagungan
Allah SWT yang telah menciptakan bumi dan seisinya, serta memohon agar
dihindarkan dari musibah.
Adapun kearifan lokal yang lain yaitu Marepeh
yang berarti ritual pengusiran roh jahat dari dalam tubuh manusia. Roh
jahat ini biasanya sering menggangu anak kecil (kesambet) atau orang dewasa yang selalu memiliki pikiran kosong dan
hati yang tidak selalu diimbangi dengan keimanan. Tubuh yang terganggu oleh roh
jahat biasanya akan merasa sakit dan berperilaku tidak wajar. Mengusir roh
jahat biasanya menggunakan media “Mbah Dukun” dengan segala jampi-jampinya untuk
mengeluarkan roh jahat dari tubuh seseorang disertai pula dengan sarat
tertentu.
Selanjutnya kearifan lokal yang masih terjaga adalah tradisi Ter-ater. Tradisi ini terjadi mulai dari
zaman nenek moyang sampai sekarang hingga mendarah daging dalam struktur sosial
masyarakat Bondowoso. Ter-ater
sendiri memiliki istilah yaitu saling mengirimkan makanan kepada saudara atau
kerabat dekat dengan maksud dan tujuan untuk saling berbagi rezeki serta
karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Wadah yang digunakan untuk ter-ater biasanya menggunakan tenung
atau tenong, isinya dapat berupa kuliner yang ingin diberikan kepada keluarga,
saudara, atau kerabat dekat lainnya. Waktunya biasanya hari raya atau hari-hari
besar lainnya.
Nyare dheddinah dalam bahasa
Madura yang berarti mencari hari baik. Salah satu kebiasaan masyarakat
Bondowoso sampai saat ini yaitu mencari hari baik untuk melaksanakan hajat
seseorang. Kearifan lokal yang satu ini umumnya juga masih dilakukan oleh
masyarakat di daerah-daerah yang berada di Jawa Timur, namun kebiasaan seperti
ini masih sangat diyakini oleh masyarakat di desa-desa Bondowoso, bahkan di
daerah pusat kabupaten Bondowoso sendiri. Sebagai contoh, nyare dheddinah biasanya dicari sebelum memulai suatu usaha, acara
lamaran, hingga melaksanakan pernikahan. Hari baik ini dilihat dari kitab-kitab
orang terdahulu sebagai pedomannya, seperti kitab naga tahun (naghe taon), adapula yang serat dengan
kitab kalacakra, dan masih banyak kitab-kitab lainnya
.
III. Bentuk Kearifan Lokal Bondowoso
Jika dilihat dari jenis kearifan lokal diatas, maka kearifan lokal yang
berada di Bondowoso ini dapat digolongkan menjadi dua bentuk. Kearifan lokal
seperti tari Singo Wulung dan Nyare
Dheddinah merupakan kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible). Hal ini dikarenakan kedua
kearifan lokal tersebut berupa karya seni tradisional dan berupa tekstual atau
memiliki ketentuan khusus dalam bentuk catatan tertulis berupa kitab
tradisional primbon, kalendar jawa, dsb. Sedangkan kearifan lokal Gedhisah, Marepeh, dan Ter-ater
termasuk kearifan yang tidak terwujud (intangible)
yang berarti kearifan lokal tersebut berasal dari petuah yang disampaikan
secara verbal dan turun-temurun yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional.
Kebudayaan yang sangat luas dikerucutkan menjadi kearifan lokal, yakni
nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu daerah masing-masing. Hal ini harus tetap
terus dilestarikan karena kebudayaan merupakan salah satu kekayaan yang
dimiliki oleh Indonesia. Kearifan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso
harus mampu mengembangkan Sumber Daya Manusia yang ada di Bondowoso –
masyarakat yang berada di Daerah Bondowoso – agar dapat bertahan terhadap
budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
mempunyai kemampuan menintegerasikan unsu budaya luar ke dalam budaya asli,
mempunyai kemampuan mengendalikan, serta mampu memberi arah pada perkembangan
budaya.
IV. Kearifan lokal dalam bingkai kebhinnekaan
Berbicara tentang kebudayaan pasti tidak akan terlepas dari
ke-bhinneka-an. Bhinneka disini memiliki arti yaitu beraneka ragam atau
berbeda-beda. Indonesia merupakan negara yang kaya akan perbedaan, disana kita
mengetahui bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh setiap daerah adalah suatu
kekayaan yang murni dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kebudayaan dapat
dikatakan sebagai “sekolah” dimana
manusia dapat belajar menghargai hidup sebagai insani. Kebudayaan juga
merupakan bagian dari naluri dasar manusia untuk menemukan kebenaran, kebaikan
dan keindahan. Kebudayaan sebagai ketegangan antara imanensi dan trensendensi.
Sebagai upaya penyempurnaan maka “kebudayaan”, dari konsep dan perkembangan harus
selalu dievaluasi.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso memiliki manfaat
untuk merajut ke-bhinneka-an di dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis mengambil dua contoh kearifan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten
Bondowoso. Yang pertama adalah kearifan lokal Seni Tari Singo Ulung. Dalam
permainan kesenian tari singo ulung terdapat beberapa pemain, mulai dari
peran-peran penari sampai pemain musik yang mengiringi. Disana membutuhkan
banyak personil dan tidak pandang bulu atau tidak memihak siapaun yang
memerankan apapun, ditambah lagi setiap gerakan yang memiliki makna positif
masing-masing. Jika dilihat dari komposisi Kesenian Tari Singo ulung ini, maka
dapat disimpulkan bahwa kesenian Tari Singo Ulung ini mampu merajut
kebhinnekaan.
Adapun kearifan lokal selanjutnya yang mampu merajut nilai kebhinnekaan
disini adalah kearifan lokal ter-ater.
Ketika dilihat dari filosofi ter-ater,
bangsa Indonesia, terutama masyarakat Bondowoso akan semakin kuat dengan
terjalinnya rasa silaturahmi yang terus dibangun. Dengan demikian kearifan
lokal disini mampu untuk merajut nilai kebhinnekaan masyarakat di Indonesia. Tidak
hanya berhenti disana, masih banyak kearifan lokal yang mampu untuk merajut kebhinnekaan,
dan perlu adanya kajian secara terus menerus untuk memperluas wawasan masyarakat
Bondowoso mengenai kearifan lokal yang dimiliki saat ini.